Surf

Hasil penelusuran

Rabu, 27 November 2013

cerpen

MEMORIES
comes when you remember a part of little things....

To my beloved friends, my dad, my mother, my brother and sisters.

Part one : When a little thing change my life

Siang hari itu, buku album foto yang terkubur diantara buku-buku lusuh itu sengaja aku cari. Aku ingin mengenang sesuatu yang telah lama hilang dari hidupku. Lembaran yang terbuka menggambarkan betapa lama foto-foto tersebut telah diabadikan. Disalah satu lembar tergambar seorang anak kecil bersama dua orang remaja putri dan seorang laki-laki yang tampak seperti seorang ayah, mereka sedang berdekapan memegang seekor ayam jago, tersenyum kepada kamera dengan ikhlas. Seorang anak kecil itu adalah aku. Namaku Eve, anak kecil yang kini mulai beranjak remaja. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasa bahagia keluarga kecil kami pada saat itu. Suasana desa yang masih jauh dari perkotaan, teras-teras rumah yang teduh oleh rimbun pohon mangga, pagar kayu berdiri kokoh di tepi jalan yang basah tersiram hujan, bau rumput hijau yang menjulang diantara bebatuan dan lumut yang menempel disisinya. Aku berpikir sejenak dan berkata " andai kenangan ini bisa aku ulang kembali."
Sekarang, aku sedang duduk di sudut kamarku , diantara buku-buku yang berantakan dan sebuah album foto yang masih terbuka. Aku sering bertengkar dengan Khai. Khai adalah kakak kedua ku. Aku tidak tahu kenapa Khai dan aku begitu gemar bertengkar. Walaupun pertengkaran tersebut berasal dari hal kecil yang tidak masuk akal untuk dijadikan suatu pertengkaran. Kakakku yang pertama sekolah diluar kota. Aku sangat suka pada Uma, kakak pertama ku yang sangat baik hati. Hampir setiap hari aku menangis merindukan kakakku karena Khai yang selalu mengalahkan aku dan tidak ada yang membela ku. Khai selalu punya kesibukan dan prestasi untuk dibanggakan kepada orang tuaku. Maka dari itu ia jadi besar kepala dan jarang mendengarkan omonganku.
Aku tidak pernah sadar jika pertengkaranku dan Khai dapat memperburuk keadaan ibuku. Ibuku yang beberapa tahun lalu sempat benar-benar pulih dari penyakitnya, hari itu seperti tanpa daya melawan penyakit yang dideritanya. Ibuku mengalami kelumpuhan pada sebagian besar anggota tubuhnya. aku tak pernah memahami kondisi ibuku, setiap hari aku bahkan jarang bertemu ibuku. Aku selalu sibuk bermain dengan teman-teman dan bertengkar dengan Khai.
Saat itu ada suara seorang anak kecil memanggilku dengan suara lantangnya. Berlari kearahku dengan mengeluarkan bunyi gemerincing uang koin dalam celengan kaleng. Adikku menghampiriku. Dia menyodorkan celengan kaleng batman. "Kak, isiin tabunganku dong." Teriaknya kearahku. Aku menyunggingkan senyuman  kecil kearahnya. Dia adalah bocah lelaki satu-satunya di keluargaku. Chairul namanya. Tapi aku lebih suka memanggilnya Arul. Biasanya Arul tidak sebaik ini padaku. Mungkin karena dia ingin aku mengisi celengan batman-nya.
"Ya, dek. Ini kakak punya uang koin seribu." Kataku penuh kasih sambil menyodorkan uang koin.
"Ko cuma satu kak?"
"Itu banyak dek arul. Kalo dipecah bisa jadi sepuluh."
"Kakak pelit, minta lagi kak, minta lima." Eyel Arul manja.
"Kakak nggak ada uang dek, uang jajan kakak habis." Aku mengusap muka lusuhnya.
"Yaudah aku mau jajan aja kalo gitu."
Arul menghambur keluar dari kamarku, halaman buku-buku yang berserakan dilantai seketika berantakan karena sepakannya. Kaleng celengan dibantingnya ke arah tempat tidurku. Ya, begitulah tingkah Arul. Walau bagaimanapun aku menyayanginya.
***
"Ev, bantu kakak. Jangan tidur teruss.." Teriakan kakakku membangunkanku dari tudur sore nyenyakku.
"Iya Khai, bawel." Aku menjawab panggilannya, berdiri setengah limbung karena kepalaku berdenyut. Mungkin aku hipotensi, atau karena efek tidur sore hari.
Aku berjalan kearah dapur, mengamati Khai sedang mencacah sayuran yang dia pegang. Khai memang sangat pandai memasak. Aku sendiri yang sedikit membenci Khai mengakui kelezatan masakannya. Tapi itu tidak pernah kuungkapkan secara langsung. Gengsi.
"Kamu ngapain dek berdiri disitu, cepetan bantuin."
"Nggak mau. Aku capek"
"Capek ngapain sih? Kamu kan udah selesai tidur. Heran aku jadi kakakmu."
"Makanya, jangan suka teriak-teriak. Bangunin yang bener."
"Kamu itu ya Ev. Udah sana kamu nyapu halaman aja."
"Dasar nyebelin."
Khai berusaha untuk menghindari pertengkaran denganku. Nampaknya dia sudah sangat hafal dengan emosi dan tingkah lakuku.
Aku beranjak ke halaman depan. Aku merasa telah tinggal beberapa tahun dirumah ini, tanpa ada seorangpun yang pernah menyapu halaman. Kotor sekali. Daun mangga kecoklatan berserakan di depan teras. Sekilas aku mengingat, beberapa tahun yang lalu pohon mangga itu tidak terlalu rimbun seperti sekarang ini. Dan pohon mangga tersebut akan terus menyimpan kenangan bahagia masa kecilku.
"Lagi nyapu mbak?" Seorang tetangga menyapaku. Aku mengenalnya. Dia adalah mantan pembantuku. Namanya Mak Nah.
"Iya mak, baru mau mulai." Aku menengoknya sambil tersenyum lebar.
Mak Nah berlalu. Aku melanjutkan pekerjaanku. Menyapu halaman.
Aku terus berpikir tentang kenangan-kenangan masa laluku. Tak terasa aku telah menyapu habis daun dihalaman. Rintik hujan turun membasahi bajuku, begitu juga halaman yang baru selesai aku sapu.
***
Tiba waktu makan malam. Sajian di meja makan, rupanya itu masakan kakakku tadi sore. Dia membuat sup dan rempeyek udang. Kami sudah siap berkumpul di meja makan. Aku duduk berhadapan tepat dengan Ayahku yang sudah mulai menyantap hidangannya. Aku mengambil sup dan rempeyek udang. Nampaknya masakan Khai masih terasa hangat. Ludahku kutelan, dan segera aku menyantap dengan lahap masakan Khai.

Bersambung...


Tidak ada komentar :

Posting Komentar